Peran Organisasi Mahasiswa dalam Melahirkan Inovasi dan Prestasi

Mahasiswa sebagai agen perubah di tengah-tengah masyarakat tentu perlu memperlihatkan sikap yang positif dalam berinteraksi. Sebagai orang yang terpelajar, mahasiswa dituntut tidak hanya mengembangkan ilmu tapi juga karakternya. Semua ini tidak bisa diraih dengan metode kuliah “kupu-kupu” atau kuliah pulang – kuliah pulang, tipe seperti ini hanya mengedepankan nilai IP atau gemar belajar akan tetapi sangat sulit dalam membuka diri untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Tentu sangat rugi apabila kita kurang aktif dalam mencari pengalaman, apalagi kebanyakan perusahaan mencari tenaga baru dilihat berdasarkan pengalamannya sebelumnya di universitas tidak sekedar IP yang tinggi. Organisasi mahasiswa (ORMAWA) merupakan solusi dalam mengembangkan potensi diri mahasiswa, dengan berorganisasi kita memiliki ruang dalam berkarya, berprestasi, berinteraksi, dan membentuk pribadi sebagai seorang pemimpin. apalagi dengan banyaknya variasi ORMAWA, kita bisa memilih organisasi mana yang tepat dalam menunjang cita-cita dan ambisi kita ke depannya.

Bercita-cita menjadi seorang peneliti atau seorang engineering tentu nantinya kita dituntut untuk menemukan inovasi baru yang dapat membantu menangani masalah bagi masyarakat. Organisasi mahasiswa di UGM seperti Gama Cendikia maupun LPKTA FT UGM merupakan pilihan yang tepat dalam membantu mengembangkan ide-ide inovatif, selain itu kita juga dapat dapat mengukur kualitas karya kita yang didapat dari aktivitas di organisasi tersebut dengan mengikuti perlombaan ilmiah dan bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa se Indonesia.

Di UGM sendiri ada organisasi yang namanya Keluarga Mahasiswa (KM), organisasi ini mewadahi mahasiswa dalam hal pembinaan dan pengabdian masyarakat yang independen, egaliter, dan demokratis. Organisasi ini menjadi wadah aspirasi, koordinasi, dan komunikasi bagi mahasiswa UGM dengan mahasiswa nasional dan internasional serta masyarakat pada umumnya, sebagaimana misi yang diterapkan oleh organisasi ini. Selain itu, terdapat juga unit kegiatan masyarakat yang beragam mulai dari bidang kesenian, olahraga, kerohanian, kewirausahaan, kepemimpinan, akademik, jurnalistik, dan pemberdayaan masyarakat yang dihimpun oleh Forkom UKM UGM. Ini semua dibentuk semata-mata untuk memberikan opsi kepada mahasiswa dalam mengembangkan diri, berinovasi dan berkarya.

Forkom UKM UGM sendiri tiap tahunnya mengadakan program Porsenigama atau Pekan Olahraga dan Seni Gadjah Mada yang merupakan ajang bagi mahasiswa untuk menyalurkan hobi dengan mengikuti cabang olahraga dan seni yang diperlombakan (Porsenigama 2015). Dari kegiatan ini, kita bisa menjaring mahasiswa-mahasiswa berbakat pada bidangnya yang kemudian dapat mewakili UGM di perlombaan nasional maupun internasional. Beberapa UKM UGM bahkan telah mewakili Indonesia dalam kejuaraan di luar negeri, seperti tim futsal dan badminton pada ajang UITM Sport Fiesta Syah Alam, Selangor Malaysia 2015, Swagayugama pada The 13th ASEAN and 3rd ASEAN +3 Youth Cultural Forum Filipina, Aiesec pada IGCDP dan Entrevolution Raising Awareness for Entrepreneurship, Ukjgs pada EOG Gamelan Malaysia, Fesco tari di Malaysia, dan pentas Ramayana di Michigan US, tim EDS pada Asian British Parliamentary, UADC, dan World Universities Debating Championship, serta PSM pada a voyage of song.

Jangan ragu dalam berorganisasi, sebab dari sinilah kita dapat mencari dan berbagi pengalaman kepada mahasiswa baik di lingkungan universitas, nasional, maupun internasional. Semakin banyak interaksi yang dilakukan maka semakin luas jangkauan yang dapat memudahkan kita dalam mencari pekerjaan, intinya banyak manfaat yang bisa diperoleh dalam berorganisasi.

Mahasiswa Sebagai Agen Perubah Bagi Masyarakat

Menjadi mahasiswa baru tentulah memiliki kebahagiaan tersendiri karena akhirnya telah lepas dari proses belajar mengajar dengan pakaian yang seragam tiap harinya, dengan aturan-aturan yang begitu ketat mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Akan tetapi hal ini tidak berarti kita telah lepas dari aturan-aturan yang ada. Justru, dengan label mahasiswa kita dituntut untuk bersikap lebih dewasa dan memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa. Kata “Maha” di depan siswa memberikan definisi yang berbeda dan jauh lebih bermakna dari sebelumnya. Bahkan di dunia ini, kata “Maha” hanya diberikan kepada dua subyek saja yaitu Tuhan dan siswa. Dalam KBBI, maha didefinisikan sebagai sangat, teramat, paling. Tuhan disematkan kata “Maha” karena sifat dan kekuasaannya yang tak terbatas, yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia. Sedangkan siswa diimbuhi kata “Maha” karena perannya yang tak terbatas, terutama perannya di masyarakat. Peran yang dimaksud adalah perannya untuk berkontribusi di masyarakat (Derian A.F, 2015). Dengan pengertian seperti itu, maka perlu diterapkan tata perilaku yang positif dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di tengah-tengah keberadaannya sebagai masyarakat, sebab menjadi mahasiswa berarti menjadi orang yang terdidik hingga memberikan contoh yang baik bagi masyarakat bukan menjadi beban bagi masyarakat. Orang yang terpelajar tidak hanya membekali diri dengan ilmu, tapi jauh dari itu, etika dan kepribadian juga perlu dibentuk. Kita harus sadar bahwa kita disekolahkan tinggi-tinggi ialah untuk bermanfaat bagi orang lain.

Kita mesti paham bahwa bangsa kita saat ini tengah dipengaruhi oleh menjamurnya berbagai budaya barat, budaya yang sudah tentu jauh berbeda dengan kultur masyarakat Indonesia. Budaya yang bahkan telah mempengaruhi sifat dan tatanan hidup masyarakat kita khususnya di kalangan remaja. Kecanggihan teknologi informasi sudah tidak bisa terbendung lagi, anak-anak hingga orang dewasa dapat dengan mudah mengakses situs-situs yang terlarang, semakin mudah melakukan transaksi narkotika dengan masyarakat global, judi online, hingga penyebaran isu negatif yang sarat akan propaganda untuk mempengaruhi persepsi publik yang bisa sampai kepada akibat terburuk yaitu terjadinya perubahan sosial yang dapat memicu permusuhan antar suku yang berakibat rasa persatuan dan kesatuan bangsa menjadi goyah. Ini semua apabila terus menerus dibiarkan maka hanya akan menjatuhkan akhlak generasi muda bangsa ini.

Mahasiswa sebagai barisan terdepan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat perlu untuk memberikan sumbangsih pemikiran maupun memberikan contoh tata perilaku yang baik di tengah kehadirannya di masyarakat, sebab pemuda yang diperlukan bangsa ini adalah mereka para agent of change, pemuda yang mampu menjadi generasi perubah di tengah krisis moral yang melanda Indonesia saat ini. Penggunaan akses internet secara positif, taat akan aturan negara, berinteraksi dengan anak-anak maupun remaja dan menanamkan kepada mereka pola hidup yang sehat dan taat agama. Dimulai dari lingkungan kecil, kemudian menjadi gerakan aktif bagi tiap mahasiswa yang ada di Indonesia akan memberikan harapan yang cerah bagi masa depan mereka dengan reformasi yang dilakukan ini. Tapi jauh sebelum melakukan itu, tentu mahasiswa juga perlu diberikan pembelajaran, dengan taat aturan yang ada di universitas dan aktif dalam berorganisasi yang mampu memberikan pengalaman agar lebih mudah berkomunikasi maupun berinteraksi dengan khalayak. Mahasiswa wajib menjadi pelopor utama dalam berjiwa nasionalisme dan patriotisme, semangat anti penjajah para pendahulu kita perlu untuk dijadikan contoh. Tanpa kita sadari saat ini secara tidak langsung kita telah dijajah oleh negara barat melalui berbagai media. Menurut Madjid, (2004: 57) bahwa ada beberapa hal yang dapat mempersatukan Indonesia dan membangun semangat nasionalisme yaitu melalui Pancasila, bahasa Indonesia, prestasi olahraga, seni, bencana alam, prestasi internasional, dan gangguan dari luar. Faktor-faktor tersebut jika terus dijaga eksistensinya tentu bisa memperkuat persatuan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, masyarakat perlu untuk diperlihatkan suatu prestasi yang membanggakan yang diraih Indonesia di kancah internasional, bukan saat melihat acara berita di TV yang ada hanya serentetan kasus korupsi yang seakan tak pernah henti dilakukan oleh pejabat, yang pada akhirnya hanya mampu menjatuhkan semangat dan kepercayaan masyarakat kepada bangsanya sendiri.

Dengan posisi sebagai mahasiswa, sudah selayaknya kita mengabdi bagi bangsa ini dengan berbagai prestasi dan tata perilaku yang positif bagi masyarakat. Mahasiswa sebagai tonggak penerus bangsa perlu menanamkan sikap bahwa dirinyalah yang akan menjadi pemikir-pemikir Indonesia suatu saat nanti, mereka lah yang akan mewarisi semangat anti kolonialisme yang dipegang teguh saat masa penjajahan era bapak Ir. Soekarno dulu. Merekalah yang akan membasmi berbagai macam praktisi kolusi, korupsi, dan nepotisme yang ada di Indonesia saat ini. Maka dari itu, mahasiswa perlu menjaga keseimbangan antara otak dan jiwa. Artinya jangan sekedar jadi orang pintar, tapi jadilah orang pintar sekaligus berakhlak mulia.

Budaya Siri’ Na Pacce sebagai Falsafah Hidup Masyarakat Bugis-Makassar dalam Mengatasi Kekerasan

 

Makassar merupakan salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa1. Kota ini berada di urutan kelima dengan jumlah penduduk terbesar setelah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Tumbuh menjadi kota besar di bagian timur Indonesia yang terfokus pada pembangunan fisik dan perekonomian kota, menjadikan banyak pedagang dan investor dari daerah lain datang mencari rezeki di kota Anging Mamiri ini. Hasilnya, kota Makassar memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan yaitu pada tahun 2009 tercatat sebesar 9,20 persen dan tahun 2013 yang lalu sebesar 9,88 persen2.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut tentu membuat kita sebagai masyarakat Makassar bangga menjadikan kota ini besar di mata orang Indonesia dan masyarakat dunia. Kini, Makassar dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakatnya. Ini menjadi pekerjaan rumah yang berat buat pemerintah kota. Berdasarkan catatan dan survei oleh Indonesia Research Center (IRC) pada 2-6 Maret 2013, kota Makassar masuk dalam kota tak aman keempat di Indonesia setelah Medan, Samarinda, dan Palembang. Namun, jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan, saling menghargai antarmanusia merupakan hal yang di junjung tinggi sejak dahulu oleh masyarakat Bugis-Makassar.

Kota Makassar dikenal dengan budaya Siri’ na Pacce. Layaknya seperti sebuah tradisi, budaya ini telah tertanam di setiap masyarakat Bugis-Makassar secara turun temurun dan senantiasa menjadi pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. Budaya Siri’ na Pacce di dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar mamiliki makna bahwa manusia dituntut memiliki keberanian dan pantang menyerah dalam menghadapi segala tantangan dan ujian yang dihadapi.

Siri’ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau de’ni gaga siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata: ‘Siri’mi Narituo’ (karena malu kita hidup). Bagi orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya. Jika mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’), mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’. Sedangkan Pacce sendiri merupakan sebuah nilai falsafah yang dapat dipandang sebagai rasa kebersamaan (kolektivitas), simpati dan empati yang melandasi kehidupan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat jika seorang kerabat, tetangga atau seorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-Makassar yang mendapatkan sebuah musibah, maka para kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu meringankan beban yang terkena musibah. Seolah-olah merekalah yang terkena musibah tersebut.

Namun, yang terjadi sekarang sangatlah memprihatinkan. Maraknya tindakan kekerasan seksual dan aksi geng motor di sejumlah wilayah yang dilakukan oleh para pemuda asli Bugis-Makassar, menjadikan budaya ini tercoreng dan bertolak belakang dengan falsafah hidup yang telah menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat. Kebanggaan masyarakat Bugis-Makassar selama ini ternodai oleh perbuatan kriminal sejumlah pemuda yang belum paham arti kehidupan dan budaya Siri’ na Pacce itu sendiri.

Maraknya aksi anarkis oleh segelintir generasi muda di Makassar tentu menarik perhatian kita semua. Jika dilihat dari metode pembelajaran yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Makassar, tidak banyak sekolah yang mengedepankan pembentukan karakter kepada siswanya. Hal ini yang menjadi faktor utama banyaknya pelaku kriminal dari kalangan pelajar, khususnya tindakan kekerasan seksual. Salah satu contohnya yaitu tindak kekerasan seksual oleh anak kelas 4 SD Inpres Tamalanrea terhadap adik kelasnya yang masih duduk di kelas 2.

Apabila tindakan kekerasan dan kejahatan lainnya terus dilakukan tanpa adanya perhatian khusus, maka kota Makassar akan masuk ke zona krisis moral yang berdampak pada generasi selanjutnya. Krisis moral dianggap sebagai suatu krisis terparah karena krisis moral dapat melemahkan sendi atau aspek dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat.

Krisis ini bisa diminimalisir dengan meningkatan mutu pendidikan dan  memasukkan budaya Siri’ na Pacce dalam proses pembelajaran. Hal ini agar tercipta pola pikir yang sehat serta pemahaman masyarakat yang kuat.

Perubahan metode pembelajaran yang lebih mendidik perlu dilakukan secara serius. Keberadaan keluarga juga dianggap vital dalam mengawasi dan membatasi tingkah laku anak dan teman bermainnya karena proses pembentukan karakter anak yang paling utama ialah dari faktor lingkungannya.

Selain itu, pengaruh budaya barat saat ini telah memberikan pengaruh negatif yang cukup besar bagi masyarakat Makassar maupun Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat tidak terbantahkan lagi. Masyarakat dunia dapat dengan mudahnya mengakses banyak konten tanpa filter melalui internet. Seluruh lapisan masyarakat dapat melihat konten masyarakat luar hanya dengan mengetik di mesin pencarian yang tersedia. Tontonan yang tidak seharusnya dilihat oleh anak-anak kini dengan mudah dapat diakses di internet. Inilah yang dapat mengikis budaya lokal yang ada.

Pada hakikatnya, remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi yang di dukung oleh mudahnya untuk mengakses informasi. Sehingga mendorong mereka untuk bebas mengekspresikan diri tanpa mengetahui batas-batas dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Disinilah peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Bukan menghakimi mereka.

Dalam membangun kota Makassar yang nyaman dan aman, tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras pemerintah dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat. Falsafah hidup kita sejak dulu yang kini mulai jarang terlihat oleh masyarakat Bugis-Makassar perlu dihidupkan kembali. Agar cita-cita masyarakat yaitu kota Makassar menjadi kota dunia dapat terwujud.

Rasanya, terlalu dini buat kita berbangga-bangga akan pesatnya kemajuan kota Makassar ini. Dengan masalah yang dihadapi, mengharuskan segala elemen pemerintahan berintrospeksi diri. Jangan terus menyalahkan apa yang dilakukan oleh para anggota geng motor maupun tindakan tidak terpuji lainnya oleh para pelajar, tetapi perlu ada penanggulangan sampai ke akarnya. Melakukan tindakan preventif dengan mengedepankan budaya lokal juga harus diterapkan dan dijunjung tinggi.

1”Buku Induk Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah Per Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Kecamatan Seluruh Indonesia” (2013)

2”Pertumbuhan Ekonomi Makassar di Atas Sembilan Persen”, http://makassar.antaranews.com/berita/53330/pertumbuhan-ekonomi-makassar-di-atas-sembilan-persen (Maret. 3, 2014)