Budaya Siri’ Na Pacce sebagai Falsafah Hidup Masyarakat Bugis-Makassar dalam Mengatasi Kekerasan

 

Makassar merupakan salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa1. Kota ini berada di urutan kelima dengan jumlah penduduk terbesar setelah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Tumbuh menjadi kota besar di bagian timur Indonesia yang terfokus pada pembangunan fisik dan perekonomian kota, menjadikan banyak pedagang dan investor dari daerah lain datang mencari rezeki di kota Anging Mamiri ini. Hasilnya, kota Makassar memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan yaitu pada tahun 2009 tercatat sebesar 9,20 persen dan tahun 2013 yang lalu sebesar 9,88 persen2.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut tentu membuat kita sebagai masyarakat Makassar bangga menjadikan kota ini besar di mata orang Indonesia dan masyarakat dunia. Kini, Makassar dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakatnya. Ini menjadi pekerjaan rumah yang berat buat pemerintah kota. Berdasarkan catatan dan survei oleh Indonesia Research Center (IRC) pada 2-6 Maret 2013, kota Makassar masuk dalam kota tak aman keempat di Indonesia setelah Medan, Samarinda, dan Palembang. Namun, jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan, saling menghargai antarmanusia merupakan hal yang di junjung tinggi sejak dahulu oleh masyarakat Bugis-Makassar.

Kota Makassar dikenal dengan budaya Siri’ na Pacce. Layaknya seperti sebuah tradisi, budaya ini telah tertanam di setiap masyarakat Bugis-Makassar secara turun temurun dan senantiasa menjadi pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. Budaya Siri’ na Pacce di dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar mamiliki makna bahwa manusia dituntut memiliki keberanian dan pantang menyerah dalam menghadapi segala tantangan dan ujian yang dihadapi.

Siri’ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau de’ni gaga siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata: ‘Siri’mi Narituo’ (karena malu kita hidup). Bagi orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya. Jika mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’), mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’. Sedangkan Pacce sendiri merupakan sebuah nilai falsafah yang dapat dipandang sebagai rasa kebersamaan (kolektivitas), simpati dan empati yang melandasi kehidupan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat jika seorang kerabat, tetangga atau seorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-Makassar yang mendapatkan sebuah musibah, maka para kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu meringankan beban yang terkena musibah. Seolah-olah merekalah yang terkena musibah tersebut.

Namun, yang terjadi sekarang sangatlah memprihatinkan. Maraknya tindakan kekerasan seksual dan aksi geng motor di sejumlah wilayah yang dilakukan oleh para pemuda asli Bugis-Makassar, menjadikan budaya ini tercoreng dan bertolak belakang dengan falsafah hidup yang telah menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat. Kebanggaan masyarakat Bugis-Makassar selama ini ternodai oleh perbuatan kriminal sejumlah pemuda yang belum paham arti kehidupan dan budaya Siri’ na Pacce itu sendiri.

Maraknya aksi anarkis oleh segelintir generasi muda di Makassar tentu menarik perhatian kita semua. Jika dilihat dari metode pembelajaran yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Makassar, tidak banyak sekolah yang mengedepankan pembentukan karakter kepada siswanya. Hal ini yang menjadi faktor utama banyaknya pelaku kriminal dari kalangan pelajar, khususnya tindakan kekerasan seksual. Salah satu contohnya yaitu tindak kekerasan seksual oleh anak kelas 4 SD Inpres Tamalanrea terhadap adik kelasnya yang masih duduk di kelas 2.

Apabila tindakan kekerasan dan kejahatan lainnya terus dilakukan tanpa adanya perhatian khusus, maka kota Makassar akan masuk ke zona krisis moral yang berdampak pada generasi selanjutnya. Krisis moral dianggap sebagai suatu krisis terparah karena krisis moral dapat melemahkan sendi atau aspek dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat.

Krisis ini bisa diminimalisir dengan meningkatan mutu pendidikan dan  memasukkan budaya Siri’ na Pacce dalam proses pembelajaran. Hal ini agar tercipta pola pikir yang sehat serta pemahaman masyarakat yang kuat.

Perubahan metode pembelajaran yang lebih mendidik perlu dilakukan secara serius. Keberadaan keluarga juga dianggap vital dalam mengawasi dan membatasi tingkah laku anak dan teman bermainnya karena proses pembentukan karakter anak yang paling utama ialah dari faktor lingkungannya.

Selain itu, pengaruh budaya barat saat ini telah memberikan pengaruh negatif yang cukup besar bagi masyarakat Makassar maupun Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat tidak terbantahkan lagi. Masyarakat dunia dapat dengan mudahnya mengakses banyak konten tanpa filter melalui internet. Seluruh lapisan masyarakat dapat melihat konten masyarakat luar hanya dengan mengetik di mesin pencarian yang tersedia. Tontonan yang tidak seharusnya dilihat oleh anak-anak kini dengan mudah dapat diakses di internet. Inilah yang dapat mengikis budaya lokal yang ada.

Pada hakikatnya, remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi yang di dukung oleh mudahnya untuk mengakses informasi. Sehingga mendorong mereka untuk bebas mengekspresikan diri tanpa mengetahui batas-batas dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Disinilah peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Bukan menghakimi mereka.

Dalam membangun kota Makassar yang nyaman dan aman, tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras pemerintah dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat. Falsafah hidup kita sejak dulu yang kini mulai jarang terlihat oleh masyarakat Bugis-Makassar perlu dihidupkan kembali. Agar cita-cita masyarakat yaitu kota Makassar menjadi kota dunia dapat terwujud.

Rasanya, terlalu dini buat kita berbangga-bangga akan pesatnya kemajuan kota Makassar ini. Dengan masalah yang dihadapi, mengharuskan segala elemen pemerintahan berintrospeksi diri. Jangan terus menyalahkan apa yang dilakukan oleh para anggota geng motor maupun tindakan tidak terpuji lainnya oleh para pelajar, tetapi perlu ada penanggulangan sampai ke akarnya. Melakukan tindakan preventif dengan mengedepankan budaya lokal juga harus diterapkan dan dijunjung tinggi.

1”Buku Induk Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah Per Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Kecamatan Seluruh Indonesia” (2013)

2”Pertumbuhan Ekonomi Makassar di Atas Sembilan Persen”, http://makassar.antaranews.com/berita/53330/pertumbuhan-ekonomi-makassar-di-atas-sembilan-persen (Maret. 3, 2014)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.